Sabtu, November 15, 2008

PRINSIP-PRINSIP TAKSONOMI TUMBUHAN

Sabtu, 08 March 2008 By: ear_one.com

PRINSIP-PRINSIP TAKSONOMI TUMBUHAN

Tatanama Tumbuhan

1. Unsur utama yang menjadi ruang lingkup Taksonomi Tumbuhan adalah pengenalan (identifikasi), pemberian nama dan penggolongan atau klasifikasi.

2. Peraturan tentang pemberian nama ilmiah perlu diciptakan agar ada kesamaan pemahaman di antara ahli-ahli Botani di seluruh dunia tentang apa yang dimaksud.

3. Nama ilmiah adalah nama-nama dalam bahasa Latin atau bahasa yang diperlakukan sebagai bahasa Latin tanpa memperhatikan dari bahasa mana asalnya.

4. Setiap individu tumbuhan termasuk dalam sejumlah taksa yang jenjang tingkatnya berurutan.

5. Tingkat jenis (species) merupakan dasar dari seluruh takson yang ada.

6. Nama-nama takson di atas tingkat suku (familia) diambil dari ciri khas yang berlaku untuk semua warga dengan akhiran yang berbeda menurut tingkatnya.

7. Nama suku (familia) merupakan satu kata sifat yang diperlakukan sebagai kata benda berbentuk jamak. Nama tersebut diambil dari nama salah satu marga yang termasuk dalam suku tadi ditambah dengan akhiran -aceae.

8. Nama marga merupakan kata benda berbentuk mufrad atau suatu kata yang diperlakukan demikian. Kata ini dapat diambil dari sumber mana pun, dan dapat disusun dalam cara sembarang.

9. Nama ilmiah untuk jenis harus bersifat ganda, artinya terdiri atas dua suku kata yang berbentuk mufrad yang diperlakukan sebagai bahasa Latin.

10. Nama takson tingkat suku ke bawah diikuti nama orang yang memberikan nama ilmiah dalam bentuk singkatan.

Klasifikasi

1. Klasifikasi tumbuhan adalah pembentukan kelompok-kelompok dari seluruh tumbuhan yang ada di bumi ini hingga dapat disusun takson-takson secara teratur mengikuti suatu hierarki.

2. Sifat-sifat yang dijadikan dasar dalam mengadakan klasifikasi berbeda-beda tergantung orang yang mengadakan klasifikasi dan tujuan yang ingin dicapai dengan pengklasifikasian itu.

3. Takson yang terdapat pada tingkat takson (kategori) yang lebih rendah mempunyai kesamaan sifat lebih banyak daripada takson yang terdapat pada tingkat takson (kategori) di atasnya.

4. Perbedaan antara istilah takson dengan kategori yaitu istilah takson yang ditekankan adalah pengertian unit atau kelompok yang mana pun, sedangkan istilah kategori yang ditekankan adalah tingkat atau kedudukan golongan dalam suatu hierarki tertentu.

5. Dalam taksonomi tumbuhan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu nama takson sekaligus menunjukkan pula tingkat takson (kategori).

6. Ada tiga sistem klasifikasi dalam taksonomi tumbuhan yaitu sistem klasifikasi buatan, sistem klasifikasi alam, dan sistem klasifikasi filogenetik.

7. Berdasarkan sejarah perkembangannya ketiga sistem klasifikasi tersebut dibagi menjadi empat periode yaitu periode sistem habitus, periode sistem numerik, periode sistem alam, dan periode sistem filogenetik.

8. Sistem klasifikasi yang tinjauannya didasarkan modifikasi dari sistem yang telah ada dengan penambahan data yang baru, disebut sistem kontemporer.

9. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berpengaruh pula terhadap perkembangan ilmu taksonomi tumbuhan.

10. Perubahan klasifikasi organisme hidup yang semula dua dunia kemudian menjadi empat dunia, atau dari empat dunia menjadi lima dunia, telah mengakibatkan sekelompok atau sebagian kelompok organisme yang semula termasuk dalam dunia tumbuhan dipindahkan ke dalam dunia (regnum) baru atau regnum yang lain.

Identifikasi

1. Identifikasi tumbuhan adalah menentukan namanya yang benar dan tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi.

2. Tumbuhan yang akan diidentifikasikan mungkin belum dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan (belum ada nama ilmiahnya), atau mungkin sudah dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan.

3. Penentuan nama baru dan penentuan tingkat-tingkat takson harus mengikuti aturan yang ada dalam KITT.

4. Prosedur identifikasi tumbuhan yang untuk pertama kali akan diperkenalkan ke dunia ilmiah memerlukan bekal ilmu pengetahuan yang mendalam tentang isi KITT.

5. Untuk identifikasi tumbuhan yang telah dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan, memerlukan sarana antara lain bantuan orang, spesimen herbarium, buku-buku flora dan monografi, kunci identifikasi dan lembar identifikasi jenis.

6. Flora adalah suatu bentuk karya taksonomi tumbuhan yang memuat jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan dalam suatu wilayah tertentu.

7. Monografi adalah suatu bentuk karya taksonomi tumbuhan yang memuat jenis-jenis tumbuhan yang tergolong dalam kategori tertentu. baik yang terbatas pada suatu wilayah tertentu saja maupun yang terdapat di seluruh dunia.

8. Kunci identifikasi merupakan serentetan pertanyaan-pertanyaan yang jawabnya harus ditemukan pada spesimen yang akan diidentifikasi.

9. Bila semua pertanyaan berturut-turut dalam kunci identifikasi ditemukan jawabnya, berarti nama serta tempatnya dalam sistem klasifikasi tumbuhan yang akan diidentifikasi dapat diketahui.

10. Lembar Identifikasi Jenis adalah sebuah gambar suatu jenis tumbuhan yang disertai dengan nama klasifikasi jenis yang bersangkutan.

ALGAE

Taksonomi Algae

1. Linnaeus membagi Cryptogamae menjadi 4 bangsa yaitu: Filices, Musci, Algae dan Fungi.
De Jussieu membagi tumbuhan menjadi 3 golongan, Acotyledoneae, Monocotyledoneae, Dicotyledoneae.

2. Tahun 1880 diperkenalkan suatu sistem yang membagi Cryptogamae menjadi Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta.

3. Thallophyta yang terdiri dari dua anak kelas Algae dan Fungi dibedakan dari Bryophyta dan Pteridophyta berdasarkan pada struktur alat penghasil spora dan gamet serta perkembangan zigotnya.

4. Dipermasalahkan mengenai keabsahan (validitas) dari Thallophyta.
Algae dan Fungi mempunyai kesamaan ciri-ciri yang digunakan untuk memisahkan keduanya dari tumbuhan lain, atas dasar kesamaan ini dipertanyakan apakah fungi berasal dari algae? dalam kenyataan, tidak satu fungi pun berasal dari algae. Dengan demikian divisi Thallophyta tidak dapat dipertahankan, sehingga bukan merupakan divisi yang valid. Sebaiknya Algae dan Fungi ditempatkan dalam satu atau lebih divisi.

5. Ciri-ciri yang akan digunakan sebagai dasar untuk memberi definisi algae:

1. menurut Fritsch (1935): Algae harus holofitik yang gagal mencapai ciri deferensiasi Archegoniatae.

2. Smith (1955 ) mendasarkan pada struktur organ seksualnya.

6. Sampai permulaan abad 20 telah dikenal 4 kelas Algae, yaitu Chlorophyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae dan Myxophyceae (Cyanophyceae). Ahli Protozoologi menempatkan semua organisme bersel tunggal yang berkhlorofil, berflagella seta motil dalam kelas Mastigophora dari filum Protozoa. Para pakar botani mengeluarkan anggota-anggota tertentu dari deret (seri) Volvocin. Rabenhorst menempatkan seri Chlamydomonas-Volvox dalam ganggang hijau rumput dan diberi nama Chlorophyllaceae.
Xanthophyceae (Heterokontae) dipisahkan dari Chlorophyceae pada permulaan abad 20 dan Fagellatae tertentu yang berpigmen dimasukkan dalam kelas Xanthophyceae.
Berbagai macam kelompok yang semula oleh pakar Protozoologi dimasukkan dalam Mastigophora secara filogegenetik berhubungan dengan organisme yang bersifat algae sejati.

7. Sistem klasifikasi algae ada bermacam-macam. Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian fisiologi, biokimia, dan penggunaan mikros- kop elektron, maka klasifikasi algae ke dalam divisinya, kini didasarkan pada:

1. pigmentasi,

2. hasil fotosintesis,

3. flagelasi,

4. sifat fisik dan kimia dinding sel,

5. ada atau tidak adanya inti sejati.


Atas dasar hal tersebut, Smith membagi algae menjadi; Divisi: Chlorophyta, Euglenophyta, Pyrrophyta, Chrysophyta, Phaeophyta, Rhodophyta dan Cyanophyta. Pyrrophyta, Chrysophyta,dan Euglenophyta termasuk Protista (Protista algae); Cyanophyta termasuk Monera.

8. Algae mempunyai bermacam-macam bentuk tubuh:

1. Bentuk uniseluler: bentuk uniseluler yang berflagela dan yang tidak berflagela.

2. Bentuk multiseluler:

1. a. koloni yang motil, b. koloni yang kokoid

2. Agregasi: bentuk palmeloid, dendroid, dan rizopoidal.

3. Bentuk filamentik: filamen sederhana, filamen bercabang, filamen heterotrikh, filamen pseudoparenkhimatik yang uniaksial dan multiaksial.

4. Bentuk sifon/pipa.

5. Pseudoparenkhimatik

9. Reproduksi

1. Vegetatif: fragmentasi, pembelahan sel, pembentukan hormogonia.

2. Aseksual: pembentukan mitospora, zoospora, aplanospora, hipnospora, stadium pamela.

3. Seksual: isogami, heterogami yang terdiri dari anisogami dan oogami, aplanogami, autogami.

10. Pergantian keturunan

1. Pergantian keturunan haplobiontik terdiri dari: pergantian keturunan yang haplontik dan diplontik.

2. Pergantian keturunan yang isomorfik dan heteromorfik.

Divisi: Chlorophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, Cyanophyta

I. Divisi Chlorophyta

Ciri-ciri

1. Pigmen, khlorofil a dan b, santofil, dan karoten, khlorofil terdapat dalam jumlah yang banyak sehingga ganggang ini berwarna hijau rumput.

2. Hasil fotosintesis berupa amilum dan tersimpan dalam khloroplas.

3. Khloroplas berjumlah satu atau lebih; berbentuk mangkuk, bintang, lensa, bulat, pita, spiral dsb.

4. Sel berinti sejati, satu atau lebih.

5. Sel kembara mempunyai 2 atau 4 flagela sama panjang, bertipe whiplash.

6. Dinding sel mengandung selulose.

7. Bentuk talus/struktur vegetatif

1. uniseluler motil/berflagela: Chlamydomonas sp.

2. uniseluler nonmotil/kokoid: Chlorella sp.

3. koloni motil (sel-sel dalam koloni mempunyai flagela) Volvox sp

4. koloni nonmotil (kokoid ): Pediastrum sp., Hydrodictyon sp.

5. palmeloid: Tetraspora sp.

6. dendroid: Prasinocladus sp.

7. berbentuk filamen: bercabang: Cladophora sp.

8. tidak bercabang: Oedogonium sp., Spirogyra sp.

9. heterotrikh: Coleochaeta sp., Stigeoclonium sp.

10. berbentuk helaian/lembaran yang distromatik: Ulva sp.

11. lembaran yang monostromatik: Monostroma sp.

12. berbentuk silinder yang beruang di tengah: Enteromorpha

13. berbentuk sifon/spnositik: Caulerpa sp., Codium sp.

Perkembangbiakan

1. secara vegetatif: dengan fragmentasi talusnya

2. secara aseksual: dengan pembentukan zoospora, aplanospora, hipnospora, autospora.

3. secara seksual: isogami, Anisogami, oogami, aplanogami.

Chlorophyta dibagi menjadi 2 kelas, yaitu Chloropyceae dan Charophyceae
Menurut Smith (1955) Chlorophyceae dibagi menjadi 12 bangsa, yaitu: Volovocales, Tetrasporales, Ulothrichales, Ulvales, Schizogoniales (Prasiolales) Cladophorales, Oedogoniales, Zygnematales, Chlorococcales, Siphonales, Dasycladales dan Siphonocladales. Oleh beberapa penulis, Tetrasporales dan Volovocales sering disatukan menjadi satu bangsa, yaitu Volvocales dan Tetrasporales dianggap sebagai anak bangsa dan Volvocales. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa kedua bangsa tersebut hanya mempunyai perbedaan kecil saja.

Tempat hidup

Sebagian besar ± 90% merupakan algae air tawar terdapat pula di tanah atau di dinding tembok yang lembab, di atas batang pohon dan dapat pula sebagai epifil (pada permukaan daun).

Charophycaea

1. Tubuh merupakan talus yang tegak, beruas dan berbuku-buku dan bercabang. Cabang yang pertumbuhannya tak terbatas keluar dari buku-buku tersebut dan dari setiap buku keluar cabang yang pertumbuhannya terbatas, yaitu cabang lateral (filoid) yang letaknya melingkari buku tersebut. Tubuh ini sering diliputi oleh CaCO3.

2. Reproduksi.

1. secara seksual: dilakukan dengan oogami. Alat kelamin betina dikelilingi benang-benang steril yang letaknya melingkar hingga membentuk spiral. Alat kelamin jantan, terdiri dari satu sel, masing-masing anteridium disatukan dalam filamen yang uniseriate dan dibungkus oleh selubung yang terdiri dari 8 sel.

2. secara vegetatif: dengan membentuk bintang-bintang amilum dan bulbus.

Dengan melihat struktur alat kelamin dan adanya stadium protenema dalam perkembangan zigot, struktur vegetatif dari tubuhnya, maka beberapa ahli mengatakan bahwa kedudukan Chara berada antara Thallophyta dan Bryophyta. Jenis-jenis yang masih hidup adalah Chara spp dan Nitella spp kesemuanya hidup di air tawar.

II. Divisi Phaeophyta
Hanya terdiri dari satu kelas : Phaeophyceae

Ciri-ciri

1. Tubuh selalu berupa talus yang multiseluler yang berbentuk filamen, lembaran atau menyerupai semak/pohon yang dapat mencapai beberapa puluh meter, terutama jenis-jenis yang hidup di lautan daerah beriklim dingin.

2. Set vegetatif mengandung khloroplast berbentuk bulat, bulat panjang, seperti pita; mengandung khlorofil a dan khlorofil c serta beberapa santofil misalnya fukosantin. Cadangan makanan berupa laminarin dan manitol. Dinding sel mengandung selulose dan asam alginat.

Reproduksi

Sel reproduksi yang motil baik zoospora ataupun zoogamet berflagela 2 buah, tidak sama panjang dan terletak dibagian lateral dari sel, bertipe whiplash dan tinsel. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembentukan zoospora atau aplanospora. Reproduksi seksual dilakukan secara isogami, anisogami atau oogami.

Daur hidup

Jenis-jenis dari bangsa-bangsa dalam Phaeophyceae mempunyai daur hidup dengan pergantian keturunan, kecuali jenis-jenis dari bangsa Fucales. Ada tiga tipe pergantian keturunan, yaitu: isomorfik (Dictyola sp.), heteromorfik (Laminaria sp). Dan diplontik (Sargassum sp.)

Tempat hidup

Sebagian besar hidup di laut hanya ada beberapa jenis saja yang hidup di air tawar.

III. Divisi Rhodophyta
Hanya mempunyai satu kelas, yaitu Rhodophyceae.

Ciri-ciri

1. Sel mempunyai dinding yang terdiri dari selulose dan agar atau karagen.
Rhodophyceae tidak pernah menghasilkan sel-sel berflagela.

2. Pigmen
Khlorofil: terdiri dari khlorofil a dan d.
Fikobilin: fikoeritrin dan fikosianin yang sering disebut pigmen aksesoris.
- karoten
Pigmen-pigmen tersebut terdapat dalam kloroplas

3. Cadangan makanan berupa tepung flaridea dan terdapat diluar khloroplas.

4. Talus
Hampir semuanya multiseluler, hanya 2 marga saja yang uniseluler. Talus yang multiseluler berbentuk filamen silinder ataupun helaian. Pada dasarnya talus yang multiseluler, terutama yang tinggi tingkatannya terdiri dari filamen-filamen yang bercabang-cabang dan letaknya sedemikian rupa hingga membentuk talus yang pseudoparenkhimatik. Talus umumnya melekat pada substrat dengan perantaraan alat pelekat. Pada Rhodophyta yang tinggi tingkatannya ada 2 tipe talus: monoaksial dan multiaksial.

Reproduksi

Reproduksi secara vegetatif dilakukan dengan fragmentasi. Rhodopyceae membentuk bermacam-macam spora, karpospora (spora seksual), sporta, netral, monospora. Tetraspora, bispora, dan polispora.

Pergantian keturunan

Pada yang tinggi tingkatannya terdiri dari 2 tipe, yaitu bifasik dan trifasik.

1. Bifasik: inti zigot langsung mengadakan meiosis; hingga menghasilkan karposporafit haploid yang tumbuh pada gametofitnya atau inti zigot membelah mitosis hingga membentuk karposporangium yang intinya diploid inti karposporangium mengadakan meiosis dan membentuk karpospora yang haploid. Karposporofit berada pada gametofit.

2. Trifasik: inti zigot hanya membelah mitosis, membentuk karposporangium dengan karpospora yang diploid. Karposporofit terdapat pada gametofit, karpospora yang diploid tumbuh menjadi tetrasporofit yang diploid dan hidup bebas, tetrasporangium yang terbentuk intinya membelah meiosis dan menghasilkan 4 spora yang haploid (tertraspora). Tetraspora tumbuh menjadi gametofit. Gametofit dan tetrasporofit umumnya isomorfik.

FUNGI DAN LICHEN

Fungi

1. Jamur sering dianggap sebagai organisme yang tergolong dalam tumbuhan, tetapi adapula yang menganggap jamur sebagai golongan organisme yang terpisah dari tumbuhan. Dengan demikian terdapat pula perbedaan dalam klasifikasinya, tetapi perbedaan tadi terletak pada taksa yang lebih tinggi dari kelas, sedangkan taksa dari kelas kebawah tidak terdapat perbedaan. Dalam modul ini jamur dikelompokkan sebagai organisme yang tergolong dalam tumbuhan dan yang dibicarakan adalah jamur sejati (Eumycotina).

2. Tubuh dari Eumycotina dapat berupa sel tunggal atau hife yang senositik, yaitu pada Eumycotina tingkat rendah sedangkan tubuh dari Eumycotina tingkat tinggi berupa hife bersepta yang letaknya teratur.

3. Reproduksi

1. Secara vegetatif dilakukan dengan fragmentasi talusnya, pembelahan sel, pembentukan tunas, artrospora, khlamidospora, sklerotium.

2. secara aseksual dengan pembentukan spora seksual (mitospora), yaitu sporangi-ospora berupa zoospora atau aplanospora dan konidiospora (konidi).

3. reproduksi seksual dilakukan melalui kontak gametangia, kopulasi gametangia, somatogami, spermatisasi yang kemudian menghasilkan spora seksual, yaitu askospora dan basidiospora.

Eumycotina tingkat rendah

4. Kelas Chytridiomycetes: tubuh berupa sel tunggal yang multinukleat, holokarpik atau eukarpik, atau berupa hife senositik yang masih sederhana. Mempunyai satu flagelum, bertipe whiplash dan letaknya posterior. Dibagi ke bangsanya berdasarkan atas struktur alat reproduksi dan struktur somatik.

5. Kelas Hyphochytridiomycetes: kelas ini merupakan kelas yang kecil, tubuh hampir sama dengan Chytridiomycetes, sel-sel motil mempunyai 1 flagellum yang letaknya anterior bertipe tinsel.

6. Kelas Oomycetes: miselium terdiri dari hife senosotik yang becabang-cabang banyak, zoospora berflagela 2 buah bertipe whiplash yang mengarah kebelakang dan tinsel yang mengarah ke muka. Dinding sel mengandung glukan dan selulose, tidak mengandung khitin. Reproduksi seksual dilakukan secara oogami, meiosis gametangial,
Bangsa Saprolegniales: miselium kasar, zoospora diplanetik sampai poliplanetik. Jenis-jenis dari bangsa ini merupakan jamur air, hidup pada substrat yang mengandung protein.
Bangsa Peronosporales: Anggota dari bangsa ini merupakan parasit pada tumbuhan, banyak menimbulkan banyak kerusakan. Bangsa ini dibagi kesuku-sukunya berdasarkan atas sifat sporangioforanya Suku yang penting adalah Pytiaceae, Peronosporaceae dan Albuginaceae.

7. Kelas Zygomycetes. Ciri khas dari kelas ini ialah terbentuknya spora istirahat yang disebut zigospora yang terdapat dalam zigosporangium dan dihasilkan dari persatuan dua gametangia (kopulasi gametangium/gametangiogami). Miselium terdiri dari hife yang senositik, tumbuh lebat. Tidak membentuk sel-sel yang berflagela. Bangsa Mucorales. Anggota yang terkenal adalah Mucor dan Rhizopus..

8. Kelas Trichomycetes. Miselium terdiri dari hife yang tidak bersekat, tidak membentuk sel-sel berflagela. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembentukan konidi. Hidup melekat pada saluran pencernaan Arthropoda.

Eumycotina tingkat tinggi
Terdiri dari 3 kelas: Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deutromycetes. Miselium terdiri dari hife bersekat yang letaknya teratur. Dalam golongan ini tidak dijumpai sel-sel berflagela. Pada Ascomycetes dan Basidiomycetes terdapat hife dikaryotik disamping yang monokaryotik. Hife dikaryotik terjadi karena setelah terjadi plasmogami tidak segera diikuti karyogami.

9. Kelas Ascomycetes. Meiospora dibentuk secara endogen di dalam askus dan disebut askospora, berjumlah 2, 4, dan 8 jarang sampai 16. Askus berbentuk gada, silinder atau bulat. Struktur somatik ada yang bersel tunggal, tetapi sebagian besar berbentuk hife bersekat yang letaknya teratur. Dinding sel sebagian besar mengandung khitin. Umumnya, daur hidup Ascomycetes terdiri dari 2 stadia, yaitu stadium asksual (imperfek) dan stadium seksual (perfek). Reproduksi vegetatif dilakukan dengan fragmentasi, pembelahan sel, pembentukan tunas. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembentukan konidi. Askus-askus dapat terbentuk dalam suatu badan buah yang disebut askokarp.
Ada 4 macam tipe askokarp: 1. Apotesium 2. Peritesium 3. Kleistotesium 4. Askostroma. Sementara ini Ascomycetes dibagi ke anak kelasnya berdasarkan pada ada/tidak adanya askokarp, perkembangan askus-askusnya dan tipe askokarp. Ada 5 anak kelas, yaitu: Hemiascomycetidae/Protoascomycetidae, Plectomycetidae, Hymenoascomycetidae, Laboulbeniomycetidae dan Loculoasco-mycetidae.

10. Anak kelas Hemiascomycetidae. Jenis-jenis dari kelas ini merupakan Ascomytes yang rendah tingkatannya. Ciri-ciri: miselium belum berkembang dengan baik, bahkan ada yang tidak membentuk miselium. Tidak membentuk hife askogenik, tidak membentuk askokarp, askus tumbuh langsung tanpa fase dikaryotik. Pembagian anak kelas ini ke bangsanya terdapat berbagai macam pendapat, antara lain adalah klasifikasi yang diajukan oleh Alexopoulos dan Mims, yaitu Protomycetales, Endomycetales dan Taphrinales. Termasuk dalam bangsa Endomycetales adalah suku Saccharomycetaceae. Anggota dan suku ini antara lain adalah Saccharomyces cerevisiae yang merupakan yeast askosporogenik non-miselial.

11. Anak kelas Plectomycetidae. Askus berbentuk bulat atau seperti buah pir, berdinding tipis. Letak dari askus-askus tersebar pada berbagai tingkatan, tidak membentuk himenium. Askokarp berbentuk seperti kleistotesium. Anak kelas ini dibagi kebangsa-bangsanya berdasarkan: tempat terbentuknya askus, ukuran askokarp dan tempat tumbuh askokarp, yaitu di atas tanah atau di bawah permukaan tanah serta sifat askospora dan konidiosporanya. Dalam anak kelas ini terdapat bangsa Eurotiales dengan suku Eurotiaceae, marga Penicillium dan Aspergillus.

12. Anak kelas Hymenoascomycetidae. Fungi dari anak kelas ini membentuk askus askusnya pada himenium, biasanya sebagai lapisan bagian basal dari askokarpnya Askokarp berbentuk kleistotesium, apotesium, dan peritesium. Hymenoasco-mycetidae sering dikelompokkan menjadi dua golongan tanpa memberi arti taksonomi mengenai istilah yang digunakan, walaupun mycetes secara resmi digunakan untuk nama kelas dalam fungi. Golongan tersebut adalah: Pyrenomycetes yang askokarpnya bertipe peritesium dan Discomycetes yang askokarpnya berbentuk apotesium.

13. Anak kelas Laboulbeniomycetidae. Merupakan fungi peritesial yang tidak mempunyai miselium sejati. Hampir semuanya hidup sebagai parasit obligat pada arthropoda.

14. Anak kelas Loculoascomycetidae. Askus "bitunicate" dan askostromatik.

15. Kelas Basidiomycetes. Meiospora terbentuk pada suatu struktur yang disebut basidium dan disebut basidiospora, umumnya berjumlah 2 - 4 buah, berinti tunggal. Miselium terdiri dari hife yang bersekat. Dalam daur hidupnya miselium berkembang melalui 3 fase, yaitu miselium primer yang homokaryon, yaitu hife yang pertama-tama tumbuh dari spora hife tadi multinukleat. Fase ini pendek, kemudian terbentuklah sekat yang membagi hife tersebut ke kompartemen-kompartemen hife yang uninukleat, hife ini membentuk hife yang binukleat, kemudian memasuki face miselium sekunder. Fase ini terbentuk dari persatuan sel hife monokaryotik yang kompatibel, yaitu sebagai hasil dari somatogami dan spermatisasi. Basidia dari sebagian besar Bassidiomycetes terdapat dalam badan buah/basidiokarp pada himenium. Alexopoulos & Mims membagi Basidiomysetes menjadi 3 anak kelas berdasarkam tipe basidia dan ada/tidak adanya basidiokarp, yaitu: Holobasidiomycetidae, Phragmobasidiomycetidae, dan Teliomycetidae.

16. Anak kelas Holobasidiomycetidae. Anak kelas ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu Hymenomycetes (Basidiomycetes yang himenial) dan Gastromycetes. Termasuk di dalam Hymenomycetes antara lain adalah bangsa Aphyllophorales dan Agaricales. Aphyllophorales secara tradisi dibagi kesuku-sukunya berdasarkan ciri-ciri makroskopiknya dan ditekankan pada konfigurasi himeniumnya, yaitu "cantharelloid", bergigi, membentuk lamela, berpori dan sebagainya. Berdasarkan ciri tersebut diperoleh 5 suku antara lain adalah Cantharelaceae dengan marga Cantharellus dan Polyporaceae dengan marga Fomus, Polyporus, dan Ganoderma. Bangsa Agaricales, termasuk fungi yang umum dikenal sebagai "mushroom": Basidiokarp terdiri dari tangkai, dan tudung, suku yang termasuk bangsa ini antara lain adalah Boletaceae, Amanitaceae, Tricholomataceae, Volvariaceae, dan Agaricaceae. Golongan Gastromycetes nama ini seperti halnya Hymenomycetes tidak mempunyai status taksonomi. Gastromycetes bersifat angiokarpik. Badan buah mempunyai lapisan luar, yaitu peridium, bagian fertil dari badan buah ini yang terbungkus peridium disebut gleba. Gastromycetes dibedakan dari lain-lain Basidiomycetes, ialah bahwa spora dibebaskan tanpa suatu kekuatan. Contoh dari bangsa-bangsanya adalah Sclerodermatales yang ditandai dengan peridium yang tebal dan berwarna gelap, tidak membentuk himenium dan Lycoperdales gleba berserbuk spora yang masak berwarna terang, terdapat benang-benang streril di antara spora-spora.

17. Anak kelas Phragmobasidiomycetidae. Basidium dari anak kelas ini terbagi menjadi 4 sel oleh sekat melintang atau membujur: Terbagi menjadi bangsa Tremellales. Auriculariales, dan Septobasidiales.

18. Anak kelas Teliomycetidae. Anggota dari anak kelas ini sebagian besar merupakan jamur yang patogenik pada tumbuhan dan dikenal sebagai jamur karat dan jamur api. Jamur ini ditandai dengan terbentuknya teliospora yang berdinding tebal berinti 2 buah. Setelah terjadi karyogami teliospora pada akhirnya berkembang menjadi basidiospora setelah terjadi meiosis. Anak kelas ini terbagi menjadi 2 bangsa, yaitu: Ustilaginales (Jamur api) dan Uredinales (jamur karat merah).

19. Kelas khusus Deuteromycetes. Fungi ini bereproduksi hanya dengan pembentukan konidi dan fragmentasi hifenya yang bersekat tidak atau belum mempunyai siklus seksual. Konidi mempunyai warna dan bentuk bermacam-macam, terdiri dari satu atau beberapa sel. Konidi terdapat konidiofor tunggal atau konidiofora-konidiofora tersebut terkumpul dan membentuk suatu struktur yang disebut sinema atau sporodokhium atau terbentuk dalam suatu badan buah yaitu piknidium atau aservulus. Klasifikasi dari fungi ini merupakan klasifikasi buatan karena tidak dijumpai stadium seksualnya. Deuteromycetes dibagi menjadi 3 anak kelas khusus, yaitu Hyphomycetidae, Coelomycetidae dan Blastomycetidae berdasarkan atas tempat terbentuknya konidi dalam badan buah (aservulus/piknidi) atau tidak dalam badan buah.

Lichenes

Lichenes adalah organisme yang merupakan asosiasi dari Fungus dan alga, huhungan antara kedua organisme tersebut adalah sedemikian rupa hingga membentuk suatu talus tunggal. Komponen fungi disebut mikobion dan komponen alga disebut fikobion. Mikobionnya sebagian besar adalah Ascomycetes hanya beberapa saja yang Basidiomytes atau Deutromycetes. Sebagian besar Lichenes yang askomisetik funginya adalah dari golongan Discomycetes: Mikobion tidak pernah dari Hemiasomycetidae, Plectomycetidae atau Laboulbeniomycetidae. Fikobion umumnya dari Chlorophyceae yang bersel tunggal atau dari Cyanophyceae. Talus: berdasarkan distribusi sel-sel alga di antara hife fungi terdapat 2 tipe talus, yaitu holomeri dan heteromerik. Bentuk utama dari talus lichenes ada 3 bentuk utama yaitu: foliose, skuamulose, dan frutikose. Reproduksi: talus lichenes dapat memperbanyak diri dengan fragmentasi talusnya, dengan diaspora. Diaspora ada 2 macam yaitu isidia dan soredia.

Klasifikasi lichenes yang paling sederhana ialah mendasarkan pada golongan fungi yang membentuk talus tersebut, yaitu Ascolichenes. Basidiolichenes, dan Deuterolichenes. Sebagian besar lichenes adalah Ascolichenes. Ascolicenes dibagi menjadi 3 kelompok besar sesuai dengan struktur dari askus dan askokarpnya sebagai berikut: Hymenoascolichenes dengan askus yang unitunikat dalam apotesium, Loculoascolichenes dengan askus bitunikat dalam apotecium dan Loculoascolichenes dengan askus bitunikat dalam pseudotecium (askstroma yang unilolkuler).

TUMBUHAN LUMUT

Divisi Bryophyta

1. Tumbuhan lumut adalah golongan tumbuhan tingkat rendah yang filogenetiknya lebih tinggi daripada golongan algae karena dalam susunan tubuhnya sudah ada penyesuaian diri terhadap lingkungan hidup di darat, gametangium dan sporangiumnya multiseluler, dan dalam perkembangan sporofitnya sudah membentuk embrio.

2. Meskipun tumbuhan lumut hidup di darat tetapi untuk terjadinya pembuahan masih tetap memerlukan air, hingga tumbuhan lumut disebut sebagai tumbuhan amfibi.

3. Bentuk dan susunan gametangium yang spesifik pada tumbuhan lumut ialah terutama pada arkegonium yang berbentuk seperti botol dan terdiri atas bagian perut dan bagian leher, sehingga tumbuhan lumut termasuk golongan Archegoniata.

4. Berhubung dalam perkembangan sporofitnya tumbuhan lumut membentuk embrio, dan untuk terjadinya pembuahan gamet jantan mencapai sel telur tanpa harus melalui "siphon", maka tumbuhan lumut tergolong Embriophyta asiphonogama.

5. Dalam siklus hidup yang normal generasi haploid (gametofit) dan generasi diploid (sporofit) bergiliran secara teratur.

6. Penyimpangan dari siklus hidup yang normal dapat mengakibatkan peristiwa apogami dan apospori.

7. Sporofit yang terjadi karena peristiwa apogami adalah haploid, sebaliknya gametofit yang terjadi karena peristiwa apospori adalah diploid dan menghasilkan gamet yang diploid pula.

8. Pembagian klasifikasi Bryophyta yang pertama menurut Eichler (1883) didasarkan atas perbedaan bentuk susunan tubuhnya dan perkembangan gametangium serta sporogoniumnya, dibagi menjadi dua kelas yaitu Hepaticae dan Musci.

9. Dalam perkembangan klasifikasi selanjutnya ternyata bangsa Anthocerotales (anggota dari kelas Hepaticae) menurut Howe (1899) mempunyai struktur gametofit dan sporogonium yang berlainan hingga kemudian dikelompokkan dalam kelas tersendiri yaitu Anthocerotae, maka pembagian Bryophyta menjadi Hepaticae, Anthocerotae, dan Musci.

10. Berhubung nama-nama takson tersebut di atas belum sesuai dengan peraturan dalam Kode Internasional Tatanama Tumbuhan maka Rothmaler (1951) dan juga Proskauer (1957) mengganti nama takson tersebut menjadi Hepaticopsida, Anthocerotopsida, dan Bryopsida.

Hepaticopsida dan Anthocerotopsida

1. Kelas Hepaticopsida mempunyai ciri-ciri antara lain gametofitnya yang pipih dorsiventral. Bentuk tubuh gametofit ada yang berupa lembaran dan ada yang menyerupai batang dengan daun-daun. Di dalam kapsul spora hanya ada jaringan arkespora. Spora yang berkecambah tidak membentuk protonema.

2. Berdasarkan perbedaan struktur vegetatif dan struktur produktifnya, Hepaticopsida dibagi menjadi 4 bangsa yaitu: Marchantiales, Sphaerocarpales, Yungermanniales, dan Calobryales.

3. Bangsa Marchantiales dicirikan dengan gametofitnya yang berbentuk seperti pita bercabang menggarpu, ada diferensiasi dalam jaringan penyusunnya, dan gametangium letaknya tenggelam.

4. Anggota bangsa Marchantiales yang paling sederhana adalah suku Ricciaceae dengan ciri-ciri sporofit hanya terdiri atas bagian kapsul saja dan terdapat di dalam jaringan talus. Tidak ada pelepasan spora, maka hanya dapat tersebar setelah jaringan sekelilingnya rusak.

5. Suku Marchantiaceae mempunyai ciri-ciri pada gametangiumnya yang terdapat pada suatu penyangga atau gametangiofor, sporofitnya terdiri atas bagian kaki, seta, dan kapsul. Sel-sel arkhespora kecuali membentuk spora juga elatera.

6. Yungermanniales adalah salah satu bangsa dari kelas Hepaticopsida yang tidak mempunyai mulut kulit (stomata), dan arkegoniumnya diliputi oleh involukrum (pada yang talusnya berupa lembaran) atau dikelilingi oleh periketium/periantium (pada yang talusnya menyerupai batang dengan daun-daun).

7. Berdasarkan duduknya sporogonium, Yungermanniales dibedakan atas 2 anak bangsa yaitu Metzgerinae (Anacrogynae) dan Yungermanninae (Acrogynae).

8. Anthocerotopsida mempunyai sporofit yang terdiri dari kaki dan kapsul saja. Bentuk kapsul spora menyerupai tanduk, maka dinamakan lumut tanduk. Di dalam kapsul spora terdapat jaringan arkespor dan sepanjang poros bujurnya terdapat kolumela.

9. Anthocerotopsida hanya terdiri satu bangsa Anthocerotales dan dua suku yaitu Anthocerotaceae dan Notothylaceae.

10. Anthocerotopsida juga dapat berkembang biak secara aseksual seperti pada Hepaticopsida yaitu dengan fragmentasi, pembentukan gemma, pembentukan umbi dan penebalan ujung talus serta dengan peristiwa apospori.

Bryopsida

1. Bryopsida adalah kelas yang terbesar di antara anggota Bryophyta lainnya dan paling tinggi tingkat perkembangannya karena baik gametofit maupun sporofitnya sudah mempunyai bagian-bagian yang lebih kompleks.

2. Gametofit dari lumut daun umumnya dibedakan dalam 2 tingkatan yaitu protonema yang terdiri dari benang bercabang-cabang, dan gametafora yang berbatang dan berdaun.

3. Sporogonium dari lumut daun terdiri atas bagian kaki, seta dan kapsul. Selanjutnya bagian kapsul mempunyai bagian-bagian yang dinamakan apofise, kotak spora atau teka, dan tutup atau operkulum.

4. Kebanyakan ahli bryologi membagi Bryopsida menjadi 3 anak kelas yaitu Sphagnidae, Andreaeidae, dan Bryidae. Perbedaan dari ketiga anak kelas tersebut terutama terletak pada struktur anatomi sporogoniumnya.

5. Anak kelas Sphagnidae mempunyai ciri-ciri antara lain: protonema berbentuk daun kecil yang terdiri dari satu lapis sel, gametafora pada ujungnya membentuk cabang-cabang sebagai roset yang menyerupai jambul dan tidak mempunyai rizoid. Sporofit didukung oleh perpanjangan ujung batang yang namanya pseudopodium.

6. Andreaeidae mempunyai persamaan dengan Sphagnidae dalam hal sporofitnya yang didukung oleh pseudopodium, tetapi berbeda dalam hal cara membukanya kapsul spora yaitu dengan membentuk 4 katup.

7. Anggota Bryidae yang tergolong Stegocarpi mempunyai peristoma pada kapsul sporanya, didasarkan atas sifat dari peristomanya Bryidae dibedakan menjadi 2 golongan yaitu Nematodonteae dan Arthrodonteae.

8. Peristoma adalah gigi-gigi atau rambut-rambut yang mengelilingi stoma pada kapsul spora-spora yang dapat mengadakan gerakan higroskopis, yaitu apabila spora-spora sudah masak peristoma bergerak membuka ke arah luar hingga spora dapat keluar.

9. Dalam klasifikasi lumut daun, bentuk kapsul, jumlah gigi peristom, bentuk operkulum maupun kaliptra dapat dijadikan dasar penggolongan yang penting.

10. Protonema sekunder ialah protonema yang tidak berasal dari perkecambahan spora, biasanya berupa benang-benang hijau seperti ganggang. Melalui tunas-tunas yang timbul dari prononema sekunder dapat terbentuk individu yang lebih banyak.

TUMBUHAN PAKU

Taksonomi Tumbuhan Paku (Vascular Cryptogamae)

1. Tumbuhan paku adalah kelompok tumbuhan berspora yang menurut klasifikasi termasuk dalam divisi Pteridophyta.

2. Berdasarkan atas macam alat perkembangbiakannya, tumbuhan paku adalah tumbuhan berspora yang digolongkan sebagai kelompok tumbuhan tingkat rendah.

3. Kelompok tumbuhan paku juga dapat digolongkan sebagai tumbuhan tingkat tinggi apabila penggolongannya didasarkan atas ada tidaknya sistem pembuluh.

4. Warga tumbuhan paku sangat heterogen baik ditinjau dari ukuran tubuhnya, segi habitat maupun cara hidupnya.

5. Pada tumbuhan paku yang dikenal sebagai tumbuhannya adalah sporofit, berbeda dengan tumbuhan lumut yang dikenal sebagai tumbuhannya adalah gametofit.

6. Tubuh tumbuhan paku sudah jelas berupa kormus karena dapat dibedakan dengan nyata dalam tiga bagian pokok yaitu akar, batang, dan daun.

7. Tumbuhan paku dianggap lebih tinggi tingkat perkembangannya daripada tumbuhan lumut karena tumbuhan paku sudah mempunyai akar dan sistem jaringan pengangkut.

8. Sporangium pada tumbuhan paku dapat dibentuk pada daun, pada ketiak daun, atau pada ujung tunas.

9. Daun yang mempunyai sporangium dinamakan sporofil, kumpulan sporofil pada ujung batang atau cabang dinamakan strobilus, dan kumpulan sporangium pada daun dinamakan sorus.

10. Dalam siklus hidup tumbuhan paku ada pergantian generasi yang masing-masing dapat hidup bebas tanpa tergantung satu sama lain.

Psilophyta, Lycophyta, dan Arthrophyta (Tumbuhan paku Berdaun Mikrofil)

1. Psilophyta dapat dipandang sebagai divisi tumbuhan paku yang paling rendah tingkat perkembangannya sebab tidak berakar dan yang paling sederhana masih belum berdaun.

2. Divisi Lycophyta atau kawat dibedakan menjadi dua kelas atas dasar ada atau tidak adanya ligula, yaitu Eligulopsida dan Lygulopsida.

3. Tumbuhan paku yang daunnya masih berupa mikrofil, umumnya sporofil terkumpul di ujung batang yang membentuk bangunan seperti kerucut dinamakan strobilus.

4. Bentuk xilem pada penampang melintang batang Lycopodium ada bermacam-macam menunjukkan beberapa tipe stele, yaitu Actinostele, Stelae stele, Mixed protostele, dan Plectostele.

5. Berdasarkan atas macam daunnya Selaginella dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan Homoephyllum dan Heterophyllum.

6. Isoetes adalah marga tumbuhan paku yang dalam batangnya terdapat lapisan kambium. Tetapi karena tiap tahun bagian terluar dari korteks dilepaskan, maka umbi Isoetes tidak kelihatan bertambah tebal.

7. Di dalam rozet daun Isoetes yang letaknya di bagian luar adalah makrosporofil dan yang letaknya di bagian dalam adalah mikrosporofil.

8. Sporofil pada Equisetum adalah sporangiofor yang berbentuk perisai dengan kaki di tengah dan beberapa sporangium berbentuk kantung pada sisi bawah.

9. Anggota divisi Arthophyta yang sekarang masih ada umumnya berupa herba yang menyukai tempat lembab, batangnya bercabang berkarang dan jelas kelihatan berbuku-buku dan beruas-ruas.

10. Pada beberapa jenis Equisetum, protalium ada yang menunjukkan sifat uniseksual, ini berarti menunjukkan tanda menuju ke sifat heterotalik.

Divisi Filicophyta (Eusporangiopsida, Protoleptosporangiopsida

1. Divisi Filicophyta dianggap lebih maju daripada divisi tumbuhan paku yang lain sebab sudah mempunyai daun yang berupa makrofil dengan ukuran dan bentuk, serta pertulangan daun yang bermacam-macam.

2. Tumbuhan paku sejati dapat memperbanyak diri secara vegetatif dengan: fragmentasi, pembentukan kuncup tunas pada daun, tunas pucuk daun, umbi batang, tunas pada akar, dan apogami.

3. Berdasarkan cara perkembangan sporangium di dalam sorus, ada 3 tipe sorus, yaitu: simple sorus, basipetal sorus, dan mixed sorus.

4. Berdasarkan cara terbentuknya sporangium ada 2 tipe sporangium, yaitu: tipe eusporangiatae dan leptosporangiate.

5. Gametofit (protalium) untuk tumbuhan paku yang heterospor bersifat endosporik dan untuk yang homospor bersifat eksosporik.

6. Protalium untuk tumbuhan paku yang bersifat eksosporik dibedakan dalam 3 tipe yaitu: tipe kordata, tipe filamen, dan tipe mikoriza.

7. Divisi Filicophyta yang sekarang masih ada dibedakan atas 3 kelas, yaitu Eusporangiopsida, Protoleptosporangiopsida, dan Leptosporangiopsida.

8. Kelas Eusporangiopsida dibedakan menjadi 2 bangsa yaitu Ophioglossales dengan ciri daun satu helai atau lebih, bagian daun fertil berbentuk malae atau bulir, dan Marattiales dengan ciri daun besar majemuk menyirip ganda.

Divisi Filicophyta (Lanjutan)

1. Kelas Leptosporangiopsida mempunyai ciri, antara lain cara pembentukan sporangium tipe leptosporangiate, sporangium terkumpul dalam sorus, dinding sporangiun terdiri dari satu lapis sel.

2. Leptosporangiopsida dibedakan atas 3 bangsa, yaitu bangsa Filicales yang homospor dan bangsa Marsileales, serta bangsa Salviniales yang heterospor.

3. Bangsa Filicales kebanyakan mempunyai batang berupa rizome, daun relatif besar dengan ukuran, bentuk, tekstur serta susunan yang bermacam-macam.

4. Klasifikasi Filicales menurut Reimers (1954) dibedakan menjadi 7 suku, yaitu Schizaeaceae, Gleicheniaceae, Matoniaceae, Hymenophyllaceae, Dicksoniaceae, Cyatheaceae, dan Polypodiaceae.

5. Polypodiaceae adalah suku yang paling besar dan sangat heterogen sehingga pembagiannya dalam klasifikasi berbeda-beda.

6. Bangsa Marsileales adalah paku air yang akarnya melekat di dasar. Setiap sorus mempunyai makro dan mikrosporangium, semua sori dalam satu sporofil terdapat dalam sporokarpium.

7. Marsileales hanya terdiri satu dari suku Marsileaceae, yang berdasarkan bentuk sorus, kedudukan sorus dalam sporokarpium dan jumlah sporangium dalam sorus dibedakan atas tiga marga, yaitu Marsilea, Pilularia, dan Regnellidium.

8. Salviniales adalah paku air yang terapung bebas, sporokarpiumnya hanya mengandung satu sorus dan hanya mengandung makrosporangia atau mikrosporangia.

9. Bangsa Salviniales dibedakan atas dua suku berdasarkan bentuk dan susunan daun serta sporokarpiumnya, yaitu Salviniaceae dan Azollaceae.

10. Azollaceae ialah paku air yang mikrosporokarpiumnya berbentuk bulat dan besar, sedang makrosporokarpiumnya berbentuk bulat panjang dan kecil.

CARA KOLEKSI DAN PEMBUATAN HERBARIUM

Koleksi, Pengawetan dan Pembuatan Herbarium Algae, Fungi, dan Lichen

Untuk mengkoleksi algae, fungi, dan liken perlu diketahui terlebih dahulu distribusi serta tempat hidupnya. Dengan mengetahui distribusinya maka akan mudah untuk memperolehnya. Ada beberapa alat yang diperlukan pada saat melakukan koleksi, diantaranya adalah pisau, kantong plastik, dan label.

Ciri-ciri tumbuhan yang hanya dapat diamati pada keadaan di tempat tumbuhnya perlu dicatat tersendiri, karena akan rusak atau hilang selama proses pengumpulan dan pengawetan.

Cara pengawetan algae, fungi, dan liken ada dua, yaitu cara basah (herbarium basah) dan cara kering (herbarium kering). Keadaan spesimen sangat mempengaruhi cara pengawetan. Demikian juga tujuan atau kegunaan dari herbarium tersebut. Ketelitian dalam teknik pembuatan dan perawatan herbarium sangat mempengaruhi keawetan herbarium tersebut.

Koleksi dan Pembuatan Herbarium Lumut dan Tumbuhan Paku

Untuk mendapatkan lumut sebagai bahan studi ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, yaitu: koleksi di lapangan, identifikasi, pengawetan, dan penyimpanan. Pengambilan bahan di lapangan sebaiknya lengkap baik dari genotofitnya maupun sporofitnya.

Beberapa alat yang diperlukan untuk pengambilan spesimen tumbuhan lumut adalah pisau, kantong koleksi, etiket gantung, buku kolektor, dan loupe.

Agar spesimen lumut tidak rusak ada beberapa cara penempatan yaitu dengan menempatkannya dalam amplop kertas atau lembaran kertas yang digulung.

Teknik pengawetan lumut biasanya dengan cara kering (herbarium kering). Lumut kering relatif kebal terhadap serangan serangga dan jamur, oleh karena itu pada penyimpanan herbarium tumbuhan lumut tidak perlu insektisida dan fungisida.

Berdasarkan cara hidupnya, tumbuhan perlu dibedakan menjadi paku yang hidup terestrial, epifit, dan aquatik. Bagian tumbuhan paku yang dikoleksi adalah sporofitnya lengkap dengan akar, batang/rizome, dan daun-daun fertil.

Ada beberapa alat yang diperlukan untuk pengambilan spesimen tumbuhan paku adalah gunting tanaman, kertas koran, kardus berlipat di tengah, alat pengepres, etiket gantung, dan label.

Setelah spesimen tumbuhan paku dikeringkan sampai tingkat kekeringan tertentu, maka herbarium tumbuhan paku tersebut diberi kamfer untuk mengusir serangga.

Problems of adaptation to a terrestrial environment

Perspective

Land plants, plants that complete their life cycle entirely in a terrestrial environment, are represented largely by bryophytes and vascular plants. In all taxa except seed plants, however, at least a thin film of water is required for fertilization; and even in two primitive groups of seed plants, the cycads and Ginkgo, fertilization is by free-swimming spermatozoids released into a liquid medium in the archegonial chamber. A few angiosperms, although terrestrial in origin, have reverted to an aquatic existence.

Vascular plants are by far the dominant groups on the Earth comprising over 255 000 species in contrast to about 22 000 species of bryophytes and approximately 20 000 species of algae. The first vascular plants appear in the fossil record in the late Silurian, about 420 million years ago, but their green algal ancestors are thought to have appeared nearly 400 million years earlier! Shared features comprise the major evidence that vascular plants, possibly also bryophytes, evolved from green algae: both synthesize chlorophylls a and b, both store true starch in plastids; both have motile cells with whiplash flagella, and both (but only a few green algae) are characterized by phragmoplast and cell plate formation following mitosis. A green alga, with these and other significant characteristics, that may provide a model of an algal ancestor of vascular plants is Coleochaete, a member of the Charophyceae. Features in addition to those listed above that lead to this conclusion are the development in Coleochaete of a zygote in which cell division begins while embedded in the gametophyte thallus, the presence of sporopollenin in the wall of the zygote, and the presence of lignin in the gametophyte. It is widely believed that the Embryophyta (bryophytes and vascular plants) and the Charophyceae evolved from a common aquatic ancestor. Detailed presentations of the evidence for this viewpoint and the nature of the presumed common ancestor can be found in major works by Graham (1993) and Niklas (1997, 2000).

The first, indisputable vascular plants were characterized by a conducting system containing xylem and phloem, a waxy cuticle, epidermal stomata, and a reproductive system that produced trilete spores (spores with a triradiate scar resulting from their development in spherical tetrads) and probably containing sporopollenin in the walls. Such plants appear first in the late Silurian, but Aglaophyton major (see Edwards, 1986) from the Lower Devonian, which has morphologic and structural features of both some bryophytes and primitive vascular plants, provides perhaps the best available model of a vascular plant precursor. Aglaophyton was a small plant, probably no more than 180 mm (about 7 inches) high, composed of dichotomous, upright axes that branched from rhizomes on the surface of the substrate (Fig. 1.1). The epidermis of all axes was covered by a cuticle and contained stomata. Some upright axes were terminated in pairs of sporangia, containing small spores of one size only. Edwards suggested that the plant probably formed extensive mats, consisting largely of vegetative axes, but produced fertile axes, bearing sporangia, “at irregular intervals.” The rhizomes were probably vegetative axes that formed clusters of rhizoids (absorbing structures) where some axes arched over and contacted the substrate. One of the most interesting structural features of the axes of Aglaophyton was the central conducting strand. Although appearing superficially as a vascular strand consisting of xylem and phloem, and described that way by earlier workers, Edwards was unable to detect characteristic structural features of tracheary elements (that is, cells with secondary wall material deposited in the form of rings, helices, or a reticulum) or of sieve elements. Instead, he found three regions of cells, an inner column of thin-walled cells surrounded by thick-walled cells, the walls of both of which were dark in color. These were enclosed by an outer zone of thin-walled cells with light-colored walls. He concluded that the two inner regions of cells with dark cell walls were probably analogous to tracheids but most similar to the hydroids (water-conducting cells) of some mosses and that the outermost cells with light-colored walls were analogous to sieve elements and very similar to the leptoids (photosynthate-conducting cells) of mosses. Aglaophyton was, therefore, a non-vascular plant sporophyte in which the sporophyte was the dominant phase in a system of pteridophytic (free-sporing) reproduction. In gross morphology and branching pattern, and the presence of an epidermis covered by a cuticle and containing stomata, it was very similar to primitive vascular plants that lived during Upper Silurian and Lower Devonian times. In its water- and photosynthate-conducting cells closely resembling, respectively, hydroids and leptoids, as well as in its small size and free-sporing reproduction, it closely resembled mosses. It is reasonable, therefore, to hypothesize that vascular plants evolved from this or plants of similar morphology and anatomy. (For detailed information on the earliest vascular plants, see Taylor and Taylor (1993) and Stewart and Rothwell (1993).)

Structural adaptations

During the past 350–400 million years many structural and physiological changes occurred as vascular plants evolved. Evolution on land posed many problems for plants such as Aglaophyton and its descendants not shared with their marine algal ancestors. In an aquatic environment, conditions are equable, and problems of water loss, support, absorption of water and minerals, and transport of water and minerals, photosynthate, and hormones, are either minimal or non-existent. This is true also, in large part, for very small plants such as most mosses. For example, the absence of efficient water-conducting cells in mosses apparently does not pose a problem for them since it is well known that in many taxa water and minerals are absorbed through the external surfaces of the sporophytes and gametophytes. This is not unlike the situation in aquatic plants in which water and minerals are absorbed by all parts of the plant directly through the epidermis, which lacks a cuticle. Consequently, there is no need for a highly efficient system of transport of water and minerals. Likewise, with few exceptions, the transport of hormones and photosynthate is also not a problem since these substances are produced in all cells. On land, however, solar radiation, wind, and temperature extremes result in a much harsher environment. As Aglaophyton and its descendants evolved on land, structural features evolved as adaptations to both this harsher environment and to their increase in size.

Adaptations reducing water loss were the evolution of a three-dimensional, rod-like plant body which decreased the surface/volume ratio, and an epidermis covered by a waxy cuticle largely impermeable to the passage of water. Although the evolution of a rod-like form was advantageous in restricting the surface area from which water could be lost, an optimal surface area in relation to volume was required through which transpiration as well as gaseous exchange could occur. The evolution of stomata in the epidermis allowed the exchange of O2 and CO2, essential in respiration and photosynthesis, and by their ability to control the size of pores through which water vapor diffused, stomata also contributed to a restriction of water loss from the plant. Adequate surface area was also required, however, through which the plant could receive signals from the environment – signals such as light, temperature, or the presence of other organisms such as pathogens or symbionts as well as chemical signals from the atmosphere or from other organisms. We now know that chemicals produced by plants living today are also released through the surface and may elicit responses from other organisms such as moths and hummingbirds that function as pollinators. The response of plants to environmental signals, referred to as signal transduction, is a new and active area of research in plant biology.

Protection of spores and gametes, so very important in a terrestrial environment, was accomplished through the evolution of sporangia and gametangia enclosed in sterile jackets of cells. The spores themselves became encased in walls containing sporopollenin, a substance which restricts water loss and is highly resistant to decay.

Absorption of water and minerals from the soil was facilitated by the evolution of rhizoids and roots, the latter often containing symbiotic fungi forming mycorrhizae which, as we shall see in detail later, enhanced their absorptive function. Roots, in particular, also served to anchor the plant in its substrate and to prevent its displacement by wind and flowing water.

The effective transport of water and minerals as well as hormones, photosynthate, and other substances became increasingly important with increase in size of the descendants of Aglaophyton or other vascular plant precursors. This was accomplished by the evolution of complex vascular tissues containing tracheids and vessel members in the xylem and sieve cells and sieve tube members in the phloem, conducting cells especially adapted structurally for the transport of these materials. Associated with the evolution of cellular transport systems, specialized mechanisms evolved which facilitated the efficient transport of water and minerals from the roots to and out of the leaves of tall trees. Concurrently, mechanisms for the translocation of photosynthate and other assimilates throughout the plant evolved.

The problem of support of the plant body also became increasingly severe with increase in size and was solved by structural adaptations. In plants, or parts of plants, consisting largely of living tissues, support was provided by their enclosure by an epidermis as well as by turgor pressure within the cells. Ultimately, some of the functions of the epidermis were taken over by periderm (a major component of bark) consisting largely of non-living cells, the walls of which are impregnated with suberin which restricted the passage of water through them. Support was also provided by the production of tissues consisting largely of non-living, longitudinally elongate cells with thick, lignified, cellulosic walls. The major supporting tissue in large plants is the xylem, consisting in pteridophytes and their ancestors as well as in gymnosperms primarily of tracheids, and in angiosperms of fibers and vessel members. Lignin in the cell walls increased the tensile strength of elongate cells comprising the xylem, thus endowing vascular plants with both strength and flexibility, so very important in conditions of high wind velocity.

The above-ground parts of the plant bodies of primitive vascular plants consisted primarily of radially symmetrical branching axes, all of which were photosynthetic. With the evolution of larger vascular plants consisting of stems and branches covered with bark, an adaptation that facilitated the process of photosynthesis was necessary. This was accomplished by the evolution of leaves which increased the surface/volume ratio of photosynthetic tissues in the plant. Structural adaptations in the leaves, such as the orientation of thin-walled elongate cells at right angles to the upper surface which channeled light at relatively high intensity into the leaves, and the complex system of intercellular channels which provided extensive wet surface area for the absorption of CO2 facilitated efficient photosynthesis. For further information on adaptations by early plants to a terrestrial environment, and the evolution of plant body plans, please see Niklas (2000).

Preview of subsequent chapters

As we proceed through this book we shall encounter progressively detailed information on the structure and development as well as some aspects of evolution and function of the descendants of primitive plants such as Aglaophyton. We shall consider many members of the Embryophyta, including the Lycophyta (lycopods and their relatives), Sphenophyta (sphenophytes), and Pterophyta (ferns), but the major emphasis will be on the seed plants (gymnosperms and angiosperms). In order to provide an orientation to all who have had little or no training in plant anatomy, and to introduce some important concepts, the following chapter will be an overview of plant structure and development. If you have had a good course in introductory botany or biology, you may wish to proceed to later chapters. Chapters 3 and 4 present, respectively, basic information on the cell protoplast and the cell wall. The cell protoplast is usually covered in some detail in introductory courses, but the cell wall is often neglected. Consequently this book provides a fairly comprehensive discussion of its structure and development.

Chapter 5 presents very important information on apical meristems of the shoot, apical regions from which other cells and tissues in the shoot system are derived, and which provide to vascular plants their distinctive characteristic of indeterminate growth. Appendages such as leaves and lateral branches also are ultimately derived from the apical meristems. In Chapters 6, 7, and 8 we consider the structure and development of the various tissues and tissue systems that result from the activity of apical meristems. These chapters include, in sequence, discussions of the primary vascular tissues (xylem and phloem) that are embedded in the parenchyma of the pith and cortex; the architecture of the primary vascular system and its relationship to the arrangement of leaves; and the epidermis, the single layer of tissue that bounds all of these other primary tissues and tissue systems, and which forms an outer protective and supportive layer of the plant prior to the development of secondary tissues.

The second part of the book, Chapters 9 through 12, consists of discussions of the vascular cambium, a lateral meristem, the activity of which results in the formation of secondary vascular tissues, and the effects of their formation on the tissues and tissue systems produced by the apical meristems early in the development of the plant body. It also includes detailed presentations of the structure, development, and to a lesser extent evolution and function of the secondary xylem and the secondary phloem.

Chapters 13 through 18 deal with secretory structures and functions; anomalous stem and root structure; the outer protective tissues and tissue regions of stems that produce secondary tissues (the periderm and rhytidome) that comprise the bark; the structure, development, and function of leaves as well as a brief discussion of their evolution; a presentation of the structure, development, and function of roots, with some comments on their evolution; and finally, a chapter on reproduction which includes some basic life cycles, discussions of the structure and morphology of flowers, the structure and development of fruits and seeds, and some aspects of the ecology of reproduction in angiosperms.

The author hopes that you will enjoy this book and that by the end of your course in plant anatomy you will be as enthusiastic about this exciting field as he is.

An overview of plant structure and development

Perspective: origin of multicellularity

Since early in the study of plants botanists have been interested in the structure, function, development, and evolution of cells, tissues, and organs. Because some green plants are very small and unicellular, but others are large and multicellular, the origin of multicellularity in plants also has been of great interest to botanists. Among the green algae from which higher plants are thought to have evolved, some colonial taxa such as Pandorina, Volvox, and relatives consist of aggregations of motile cells that individually appear identical to apparently related unicellular forms (Fig. 2.1). Consequently, it was concluded early in the history of botany, and widely accepted, that multicellular plants evolved by the aggregation of unicellular organisms. This viewpoint led to the establishment of the cell theory of multicellularity in plants which proposes that cells are the building blocks of multicellular plants (Fig. 2.2). As early as 1867, however, Hoffmeister proposed that cells are simply subdivisions within an organism. This viewpoint, supported and expanded upon in 1906 by Lester Sharp at Cornell University, has been elucidated and clarified more recently by Hagemann (1982), Kaplan (1992), and Wojtaszek (2000) among others. These workers conclude on the basis of abundant evidence that a unicellular alga and a large vascular plant are organisms that differ primarily in size and in the degree to which they have been subdivided by cells (Fig. 2.2). This organismal theory of multicellularity has gained many adherents within the past several decades (see Kaplan, 1992), and is of great importance because of ways in which it has influenced the thinking of botanists about the processes of development.

A primary and convincing basis for the organismal theory is the nature and result of cell division in plants. Following mitosis and cell plate formation, the protoplasts of the two resulting daughter cells maintain continuity through highly specialized cytoplasmic strands called plasmodesmata (Fig. 2.3) (see Chapter 4 for a detailed discussion of plasmodesmata). Thus, although the plant is blocked off in regions called cells, the plasmodesmata provide for an interconnected system of protoplasts called the symplast. The plasmodesmata function as passageways for communication between living cells, that is, for the transmission between cells of molecules of varying size including even large molecules such as proteins and nucleic acids (see, e.g., Lucas et al., 1993; Kragler et al., 1998; Ehlers and Kollmann, 2001). It has become clear in recent years that this communication between cells has a profound influence in plant development (see, e.g., Verbeke, 1992). These and other workers believe that plasmodesmata may exert “controlling influence” on cell differentiation, tissue formation, organogenesis, and specialized physiological functions.

For more detailed discussions of evidence in support of the organismal theory of multicellularity in plants and the significance of this theory in understanding plant development, see Kaplan and Hagemann (1991), Niklas and Kaplan (1991), Kaplan (1992), and Wojtaszek (2000).

Let us now look at the vascular plant body in general terms and obtain an overview of its structure and development. In subsequent chapters we shall consider in more detail many aspects of plant structure and development as well as of function and evolution.

Some aspects of the shoot system of the vascular plant

The vascular plant consists of an aerial shoot system and, typically, a subterranean root system (Fig. 2.4). The shoot system consists of a main axis that bears lateral branches. Leaves may be borne on both the main axis and lateral branches in plants that complete their life cycle in one growing season, but in those that live for several to many years, leaves are usually found only on the parts of lateral branches that have developed in the past year or the last several years. For example, in deciduous plants, (e.g., many woody angiosperms) leaves develop only on the most distal segments of the laterals, i.e., the parts produced during the most recent growing season (Fig. 2.5) and will fall from the plant at the end of the same growing season. In most conifers and other evergreens, however, leaves may stay on the plant for several years, but the youngest, i.e., the most recently developed leaves, are borne on twigs produced in the current or most recent past growing season (Fig. 2.6)

© Created by ear_one.com@ab.cd.