Sabtu, April 11, 2009

KUCING MISTERIUS

“Miaaaw.…”
Suara lembut itu mengejutkan Nida yang sedang asyik mengetik karya tulisnya di komputer. Nida menghentikan kesibukannya. Menoleh ke kiri dan ke kanan mencari asal suara itu. Tiba-tiba, kakinya yang terjulur di kolong meja komputer terasa geli tersentuh bulu-bulu lembut, lebat… seekor kucing!
“Miaaaw!”
Nida terpana menatap kucing itu. Makhluk itu cantik sekali. Mungkin ini yang disebut kucing anggora. Bulunya panjang-panjang dan lebat sekali. Bulu ekornya juga panjang-panjang dan lebat. Warna bulunya indah, kuning keemasan mulai dari kepala, tengkuk, punggung, hingga ujung ekornya. Begitu juga sisi luar keempat kakinya. Sementara, wajah, leher, dada, dan perut, serta sisi dalam kaki-kakinya ditumbuhi oleh bulu berwarna putih bersih. Cantik sekali! Begitu sempurna!
Ragu Nida mengelus kepala kucing itu, takut kucing itu mengamuk. Tapi tidak, kucing itu malah tampaknya senang dielus-elus. Bahkan, ia mengusap-usap kepala dan tubuhnya ke kaki Nida. Nida terkikik kegelian.
“Pus, kamu cakep banget. Pasti kamu ada yang punya, ya? Kucing liar mana mungkin cakep begini?” kata Nida. Diraihnya tubuh kucing itu. Didekap dan digendongnya.
Nida memang tidak canggung menyentuh kucing, karena Nida memang penyuka kucing. Bahkan, binatang favoritnya memang spesies kucing. Entah mengapa tingkah manja kucing membuatnya senang dan terhibur. Dan suara kucing yang imut itu… miaaaw... ih, bikin Nida gemes!
Semasa SMP dulu, Nida pernah memelihara kucing. Dinamai Pinky karena hidungnya berwarna merah muda. Selama satu setengah tahun, Pinky menjadi sahabat terbaik Nida, yang selalu melipur laranya di kala kesedihan melanda. Tingkah lucu Pinky selalu mampu membuat Nida tertawa. Namun, akibat keteledorannya, terlambat menyadari Pinky sakit, kucing kesayangannya itu pun sekarat selama tiga hari dan akhirnya mati. Lama Nida berduka dan merasa sangat bersalah. Dan Bunda tak pernah lagi mengijinkan Nida memelihara kucing karena Nida menunjukkan sikap tak bisa bertanggung jawab terhadap binatang peliharaannya.
“Miaaaw….” Kucing itu mengeong lagi. Matanya terpejam menikmati gelitik jemari Nida di lehernya. Nida tersenyum.
“Pus, Cakep. Kamu aku panggil si Koneng, deh. Karena warna bulumu yang kuning.”
Lantas, Nida menyibukkan dirinya mengajak si Koneng bermain-main. Karya tulisnya pun terlupakan!
“Miaaaw!’’ Si Koneng datang lagi!
Mata Nida berbinar-binar menyambut kedatangannya. Si Koneng terbiasa datang setiap jam dua siang. Dia muncul dari pintu ruang belajar di lantai atas rumah Nida yang selalu terbuka, apabila Nida sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Rumah Nida memang berhimpitan dengan rumah tetangga kanan-kirinya. Memudahkan si Koneng melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya.
Setelah tiga hari pertemuannya dengan si Koneng, Nida masih belum tahu siapa pemilik kucing itu. Dan Nida memang tak ingin tahu. Biar saja, pokoknya dia bisa memiliki si Koneng selama dua jam karena biasanya setiap jam empat sore, si Koneng akan berlari pulang. Selama ini pula, Koneng hanya diijinkan Nida bermain-main di ruang belajarnya. Oh, jangan sampai turun ke lantai bawah dan ditemukan Bunda! Karena pasti akan diusir Bunda!
Si Koneng semakin akrab dengan Nida. Dia tak takut-takut lagi mengusap-usap tubuhnya ke kaki Nida. Bahkan, berani menghampiri jemari Nida yang menjentik memanggilnya. Kemudian, si Koneng akan menjilat-jilat jemari Nida itu. Si Koneng juga semakin sering mengeong. Kadang membuat Nida khawatir suaranya akan terdengar sampai lantai bawah.
“Hush! Pus.... Koneng, jangan kenceng-kenceng, ya, ngeongnya, nanti kedengeran Bunda. Cup... cup… diem… diem…,” bujuk Nida. Tapi, si Koneng tak jua mengerti. Tetap saja mengeong semakin kencang dan semakin sering. Sambil matanya tak lepas memandang Nida, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Aduh, pus... jangan berisik dong, Sayang,” seru Nida sambil mengelus-elus kepala si Koneng. Tapi, terlambat... terdengar suara Bunda.
“Nidaaa!” Nida sedikit panik.
“Tuh, kan? Pus, sih…,” ujarnya dengan nada sangat menyesal. Tapi, si Koneng seperti tak peduli. Ia tetap mengeong, semakin sering dan melengking. Nida terpaksa membopongnya dan membawanya keluar menuju balkon. Meletakkannya di lantai, tapi belum sempat Nida menutup pintu, si Koneng sudah melesat mendahuluinya masuk ke ruang belajar. Menatapnya dan mengeong keras!
“Hhhh!” Nida menarik napas, tak menyangka si Koneng akan membuatnya kesal.
“Nidaaa…!” Terdengar lagi panggilan bunda.
Terpaksa Nida membuat trik untuk menipu si Koneng. Dilemparkannya ke lantai balkon bola ping-pong berwarna oranye yang biasa digunakannya untuk bermain dengan si Koneng. Benar saja! Si Koneng segera mengejar bola itu. Pada saat itulah, Nida lekas-lekas menutup pintu.
Terdengar suara Koneng yang mengeong-ngeong memilukan… sungguh tak tega Nida mendengarnya. Tapi, Nida harus segera turun menemui Bunda. Secepatnya Nida berlari turun.
“Ya, Bundaaa…,” sahutnya.
“Nida, dipanggil bunda kok lama banget nyahutnya,” kata Bunda setelah Nida berada di hadapannya.
“Maaf deh Bunda. Nida tadi lagi tanggung….” Bunda menatap Nida penuh selidik.
“Tanggung ngapain hayoo?” Nida terlihat agak gugup,
“Eh, lagi ngetik tugas.…Tapi, gak ada apa-apa kok Bunda. Bener, deh. Bunda gak denger apa-apa, kan?” jawab Nida dengan pandangan khawatir. Bunda tersenyum,
“Makanya Bunda khawatir. Bunda nggak denger apa-apa. Kirain kamu tidur atau sakit? Kok nggak menyahuti panggilan Bunda…,” kata bunda lembut. Nida menarik napas lega.
“Tadi Fifin nelepon. Kamu kelamaan turun, jadi teleponnya Bunda tutup. Nanti kata Fifin mau nelepon lagi. Dia cuma nanya, kok kamu belum dateng ke rumahnya katanya kamu udah janji mau mengerjakan tugas bersama?” tanya Bunda.
“Ha? Iya, aku lupa!” pekik Nida dalam hati.
Dia terlalu asyik bermain dengan si Koneng sampai lupa dengan janjinya pada teman-temannya. Nida menatap jam dinding. Wah, sudah pukul setengah empat sore! Sudah terlambat sekali karena rencananya mereka akan mulai mengerjakan tugas pada pukul dua siang. Segera Nida mengangkat telepon untuk menghubungi Fifin, semoga dia masih diterima walau datang terlambat….
Keseriusan Nida menyelesaikan tugas sejak sepulang sekolah terganggu oleh sebuah suara lembut.
“Miaaaw…. Miaaaw….”
Ah, si Koneng sudah datang. Seperti biasa, tepat pukul dua siang. Tapi kali ini Nida tak ingin bermain. Banyak tugas yang harus diselesaikannya. Apalagi kemarin ia terlambat ikut menyelesaikan tugas kelompok ini bersama teman-temannya. Maka, beban tugasnya pun menjadi semakin banyak. Belum lagi dia harus menghapal banyak istilah-istilah Biologi untuk ujian besok. Hhh! Seperti biasa, sistem kebut semalam, deh! Tapi, manalah si Koneng dapat mengerti?
Si Koneng langsung menubruk kaki Nida dan mengusap-usapkan kepalanya, seperti biasa. Namun, kali ini si Koneng terdengar semakin cerewet, semakin sering mengeong.
“Miaaaw… miaaaw… miaaaw…,” celoteh kucing itu. Ih, Nida benar-benar merasa terganggu!
“ Pus… please… jangan ganggu aku, dong… aku lagi belajar nih…,” keluh Nida.
Si Koneng malah mengira Nida mau mengajaknya bermain. Dia melompat-lompat kegirangan sambil menatap Nida penuh harap. Dan suara mengeongnya…. Hiiih!!
“Miaaaw… miaaaw… miaaaw…!”
“Aduh, Pus! Udah deh, Pus.... Keluar aja, ya?” ujar Nida sambil membopong kucing itu dan membawanya keluar. Segera setelah diturunkannya kucing itu di lantai balkon, lekas-lekas Nida berniat menutup pintu. Tapi, hup! Si Koneng lebih gesit. Dia sudah melesat ke dalam ruang belajar, menatap Nida tajam seperti menantangnya!
“Miaaaw!”
Nida mendengus, “Hhh! Sepertinya mesti dikibulin lagi nih, si Koneng!” ujar Nida. Seperti kemarin, Nida melempar keluar bola ping-pong berwarna oranye. Secepat kilat si Koneng mengejarnya. Pada saat itulah segera Nida menutup pintu! Dan hatinya pun merasa lega! Namun, suara mengeong si Koneng masih terdengar, memilukan penuh harap. Ah, Nida tak ingin peduli. Kali ini tugasnya lebih penting. Tak ada waktu buat si Koneng! Benarlah tindakannya kali ini, menyingkirkan si Koneng!
Siang menjelang sore itu, tiba-tiba tampak mendung menggantung di langit. Kumpulan air hujan yang membentuk awan kelabu, berarak-arak di angkasa dan tampaknya sebentar lagi siap untuk ditumpahkan. Tak lama, benarlah! Hujan deras tumpah dari langit. Nida tak peduli. Ia masih sibuk menyelesaikan tugasnya. Baru setengah jam kemudian Nida tersadar. Hujan begitu deras. Dan si Koneng? Si Koneng telah dia tinggalkan dil uar!
Nida menuju pintu dan membukanya perlahan…. Oh, air hujan telah membasahi seluruh lantai balkon sampai ke setiap sudut-sudutnya. Pandangan mata Nida menyapu lantai balkon yang basah digenangi air. Si Koneng tak ada!
“Jangan-jangan si Koneng kehujanan di tengah jalan…. Di manakah rumahnya? Jauhkah dari sini? Ah, Koneng… maafkan aku.…”
Pukul dua siang. Nida menghempaskan tubuh lelahnya ke atas karpet yang tergelar di lantai ruang belajarnya. Meletakkan kepalanya di bantal-bantal besar nan empuk…. Ah, lega rasanya. Tak sia-sia Nida begadang semalaman menyelesaikan tugas-tugasnya dan menghapal istilah-istilah Biologi yang sulit dan banyak sekali. Nida merasa puas karena Nida tahu sebagian besar jawaban soal-soal ujian tadi. Perkiraan kasarnya, sembilan puluh persen soal berhasil dijawabnya dengan benar! Setidak-tidaknya, Nida yakin akan meraih nilai delapan puluh lima. Selain itu, teman-temannya puas sekali dengan sisa tugas yang telah diselesaikan Nida. Wow, perfect! Hari ini benar-benar sempurna. Nida baru ingat, biasanya jam-jam segini… si Koneng datang….
Jam dinding di ruang belajar itu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aneh, si Koneng tidak datang. Nida menjadi gelisah.
“Kenapa ya si Koneng? Kenapa hari ini tidak muncul?” Nida menjadi cemas. Jangan-jangan kucing itu celaka karena kehujanan dalam perjalanan pulang kemarin.
Nida bertanya kepada Bunda apakah pernah melihat kucing cantik berbulu lebat berwarna kuning keemasan. Tapi, Bunda menjawab tak pernah melihat kucing seperti itu. Begitu juga ketika Nida bertanya kepada Mbok Nar.
“Mbok nggak pernah liat, Neng!” jawab Mbok Nar.
“Tapi, Mbok Nar pasti pernah denger suaranya, kan? Suaranya nyaring banget dan cerewet banget gak bisa berhenti mengeong.” Nida masih bertanya. Dan lagi-lagi Mbok Nar menggeleng.
“Bener deh, Neng. Mbok nggak pernah denger suara kucing. Ibu kan nggak suka ada kucing di dalam rumah. Jadi kalo Mbok denger suara kucing di rumah, pasti langsung Mbok cari dan kucingnya Mbok usir,” jawab Mbok Nar.
Nida mengernyit, tak habis pikir.
“Masa, iya sih hanya aku yang melihat dan mendengar si Koneng? Suaranya aja berisik begitu. Rumah ini tak terlalu besar. Suara si Koneng yang melengking itu seharusnya dapat didengar oleh orang yang berada di lantai bawah. Dan anehnya, si Koneng seperti punya jadwal pasti, jam dua datang dan pulang tepat jam empat. Kucing aneh. Milik siapakah ia? Dan mengapa hari ini tidak datang? Mmm, positive thinking aja, deh. Semoga hari ini si Koneng memang sedang senang di rumahnya. Lagi diajak main-main sama yang punya…,” harap Nida.
Tiga hari sudah si Koneng tidak tampak batang hidungnya. Nida masih merasa bersalah.
“Jangan-jangan si Koneng kapok bermain denganku lagi gara-gara aku tega membiarkannya kedinginan dalam cuaca hujan di luar rumah,” pikir Nida.
Tiba-tiba, datang Mbok Nar yang baru pulang dari warung dengan tergopoh-gopoh. Membuat Nida dan Bunda yang sedang asyik menonton televisi terkejut.
“Bu, Bu!” seru Mbok Nar dengan pandangan nanar.
“Ada apa, Mbok? Kok kelihatan panik begitu?” tanya Bunda.
“Ibu inget Oma Nancy? Yang tinggal di belakang rumah?” Mbok Nar malah balik bertanya. Bunda mengangguk.
“Iya, ingat. Nenek tua yang hanya tinggal dengan seorang pembantu itu, kan? Yang rumahnya besar?” jawaban Bunda malah berbentuk pertanyaan. Kali ini gantian Mbok Nar yang mengangguk.
“Sekarang lagi rame di rumahnya, Bu. Ada polisi segala. Katanya, Oma Nancy mati dibunuh perampok!” jawab Mbok Nar benar-benar mengejutkan Bunda dan Nida.
“Apa??!! Ah, yang bener?” tanya Bunda tak percaya. Mbok Nar mengangguk keras.
“Bener, Bu!” jawabnya tegas. Bunda dan Nida saling tatap, masih tak percaya….
Oma Nancy…. Kasihan sekali nenek tua itu. Hidup sendiri hanya ditemani oleh seorang pembantu. Anak-anaknya telah hidup sukses, kaya-raya dan sangat sibuk sehingga tak sempat sering-sering mengunjungi Oma Nancy. Walaupun mereka tinggal di kota yang sama, tiga orang anak Oma Nancy yang semuanya telah berkeluarga, belum tentu mengunjunginya tiga bulan sekali. Dan kini, Oma Nancy mati dibunuh perampok? Betapa mengerikan! Apakah tak ada yang tahu kejadiannya? Mendengar teriakannya? Rumahnya terletak di blok yang membelakangi rumah Nida. Nida merinding. Tak adakah yang melihat perampok-perampok itu?
Malamnya, ayah melengkapi kisah Oma Nancy. Karena sepulang dari kantor, ayah mengikuti perkembangan kisahnya secara langsung dan mendapat penjelasan dari Pak RT.
“Diduga keras yang membunuh Oma Nancy adalah pembantunya yang baru sebulan bekerja di rumahnya itu,” kata ayah.
“Ih, kejam banget!” pikir Nida sambil meringis.
“Karena tak ada tanda-tanda pintu dirusak paksa. Pintu terkunci dari luar. Sang pembantu menghilang berikut pakaiannya dan barang berharga Oma Nancy. Kata anaknya, Oma Nancy menyimpan sebuah kotak perhiasan berisi emas permata bernilai puluhan juta rupiah. Kotak itulah yang hilang. Kematian Oma Nancy karena dicekik dengan seutas kawat. Si pembantu tahu, keluarga Oma Nancy jarang menghubunginya sehingga si pembantu yakin dia pasti sempat pergi jauh sebelum perbuatannya itu diketahui orang lain. Seandainya anak-anak Oma Nancy lebih memperhatikannya, menelepon setiap hari untuk mengecek keadaan Oma Nancy, pasti kejadian itu dapat lebih cepat diketahui” lanjut ayah lagi.
“Lho, memangnya kejadiannya kapan, Yah?” tanya Bunda.
“Oma Nancy telah meninggal sejak seminggu yang lalu…. Tak sengaja kejadian itu diketahui setelah pembantu sebelah rumahnya curiga mengapa pembantu Oma Nancy lama tak terlihat membeli sayur di tukang sayur keliling langganan mereka. Malah, tak pernah terlihat keluar untuk menyapu halaman rumahnya,” jawab ayah.
Oooh, Bunda dan Nida sama-sama terkejut dan terenyuh mendengar nasib Oma Nancy.
“Anehnya, di atas mayat Oma Nancy tergeletak bangkai seekor kucing berbulu kuning. Sepertinya kucing itu adalah kucing anggora kesayangan Oma Nancy yang setia menunggui mayat majikannya sampai kucing itu sendiri ikut mati kelaparan….” Ayah meneruskan ceritanya.
Nida langsung pucat pasi mendengarnya! Kucing? Anggora… berbulu kuning?
“Si Koneng?” tanyanya dalam hati. Rasanya Nida mau pingsan!

Tidak ada komentar: